pangondian blog's

ora et labora

Selasa, 23 Maret 2010

KONSTRUKSI 2030 : PETA JALAN TRANSFORMASI KONSTRUKSI INDONESIA

Perdagangan bebas ASEAN dan China menjadi pintu awal globalisasi dan liberalisasi yang dihadapi konstruksi Indonesia, disamping tantangan lain yang tidak kalah besar yakni demokrasi dan desentralisasi, kemiskinan dan kesenjangan, serta kerusakan lingkungan dan bencana. Empat tantangan tersebut harus disikapi pemangku kepentingan dari seluruh rantai suplai sektor konstruksi, untuk menjadikan sektor konstruksi menjadi sektor yang mampu menjamin profesionalisme para pelaku, melalui proses yang efesien serta menghasilkan produk yang berkualitas, bermanfaat dan berkelanjutan.

Inisiasi dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) pada tahun 2007 telah merumuskan peta arah perjalanan transformasi konstruksi yang disebut sebagai Konstruksi Indonesia 2030. Dalam dokumen itu, konstruksi Indonesia adalah para pelaku seluruh rantai suplai konstruksi (people), kemudian proses penyelenggaraan life cycle built aset (proses) dan terakhir produk berupa bangunan, infrastruktur, aset terbangun beserta layanannya (product).

“Konstruksi Indonesia tidak semata design-bid and build, ini hanya merupakan bagian dari rantai suplai dalam mewujudkan lingkungan terbangun yang nyaman, KI juga menyangkut modal, teknologi, SDM, informasi pasar, akses pasar, sistem transaksi, penjaminan kualitas, model bisnis sehingga bagaimana proyek konstruksi di daerah Indonesia timur menarik bagi investor” kata Akhmad Suraji, pakar konstruksi dari UGM dalam Diskusi Evaluasi tentang Kebijakan Transformasi Konstruksi di Hotel Ambhara, Jakarta (22/3) yang dihadiri oleh para pakar konstruksi lainnya diantaranya Dr. Krishna S. Pribadi dari ITB, Prof. Mudrajad Kuncoro dari UGM, Prof. Wiratman, Prof. Sunyoto Usman dan Mantan Ketua LPJK Sulistijo Sidarto Muljo.

Pembuatan KI 2030, menurut mantan Ketua LPJKN Sulistijo Sudartomulyo adalah agar ada arah yang jelas pengembangan konstruksi nasional yang tidak terpengaruh adanya pergantian pemerintahan atau kabinet.

Terkait kemampuan pelaku konstruksi Indonesia saat ini, Krisna mengatakan bahwa isu penting yang dihadapi saat ini adalah tidak semua yang memiliki sertifikasi memiliki kompetensi sementara globalisasi mengharuskan memiliki daya saing. Perubahan iklim dunia dengan adanya perubahan iklim dan pemanasan global juga menjadi tantangan yang harus direspon oleh KI yang menjadi bagian penyumbang besar gas emisi.

Namun menurut Wiratman, globalisasi sektor konstruksi bukan berarti perusahaan nasional tidak memiliki kemampuan. Wiratman meminta agar aturan pemerintah memberikan kesempatan kepada perusahaan lokal menjadi mayoritas dalam proyek-proyek besar. “Pemegang bendera (mayoritas) dipegang oleh lokal yang disyaratkan bekerjasama dengan perusahaan asing yang memiliki teknologi. Menurut saya teknologi tidak lah sulit, teknologi bisa dikuasai melalui kerjasama, dengan demikian kita bisa belajar sambil mengerjakan sehingga lebih cepat belajar.” Jelasnya.

Hadirnya UU Jasa Konstruksi No 18 tahun 1999, menurut Wiratman sudah bagus karena mengatur kesetaraan antara pemberi pekerjaan dan penerima pekerjaan. Namun praktek di lapangan, penerima pekerjaan seringkali dibawah pemberi pekerjaan. “Ini tidak bagus untuk kelangsungan sektor konstruksi” tambahnya.

Sektor konstruksi merupakan pilar penting peningkatan kesejahteraan dan menjadi tumpuan peningkatan ekonomi dan pemulihan ekonomi di saat krisis. Sektor ini, menurut Mudrajat Kuncoro memberikan konstribusi sebesar 7,5-10 persen terhadap produk domestik bruto dan mampu menyerap tenaga kerja langsung hingga 4-5 persen per tahun. Terkait dengan pengembangan sektor konstruksi 2030, Mudrajat mengingatkan pentingnya aspek penataan ruang, apakah 20 tahun kedepan sektor konstruksi masih akan terpusat di Jawa dan Sumatera yang saat ini memegang peranan sebesar 81 persen. (dikutip dari www.pu.go.id)

Kamis, 04 Maret 2010

INDONESIA - JEPANG BAHAS TEKNOLOGI JALAN DAN JEMBATAN

Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan (pusjatan) bekerjasama dengan National Instutude for Lands and Infrastructure Management (NILIM) dan Public Works Research Institude (PWRI) dari Jepang menyelenggarakan Joint Workshop on Road and Bridge di Bandung, Selasa (2/3).

Dalam sambutannya, Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak mengatakan Kementerian Pekerjaan Umum bertanggung jawab dalam penyediaan dan peningkatan kualitas jalan nasional di Indonesia. Untuk itu, dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan, Kementerian PU memiliki program Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010 - 2014 dalam pembangunan infrastruktur.

Program RPJMN Kementerian PU di bidang jalan dan jembatanan yakni meningkatkan kualitas jalan dan jembatan sepanjang 171.700 km, meningkatkan kapasitas serta kualitas jalan nasional sepanjang 19.400 km dan 27.000 m jembatan. Kementerian PU dalam meningkatkan hidup masyarakat menggunakan standar teknologi dan menerapkan teknologi untuk meningkatkan kualitas inrfrastruktur dalam pembangunan masyarakat di masa depan.

Menurut Hermanto Dardak, dengan kondisi demografi dan geologi Indonesia yang rawan bencana dan gempa bumi sangat diperlukan peningkatan penggunaan teknologi dalam bidang konstruksi. Acara tersebut bertujuan untuk saling tukar menukar informasi dan berbagi pengalaman antara Indonesia - Jepang di bidang kontruksi jalan dan jembatan. Jepang juga memiliki pengalaman dalam manajemen jalan tol di Asia dan manajemen operasional lalu lintas. Dengan tukar informasi dan berbagi pengalaman, diharapkan Indonesia mampu melakukan pembangunan dan peningkatan infrastruktur yang handal di daerah rawan bencana.

"Kondisi alam Indonesia yang rawan gempa tidak jauh berbeda dengan Jepang. Melihat pengalaman Jepang dalam penanganan gempa bumi di Kobe di tahun 90-an, akan sangat membantu kita dalam melakukan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di Indonesia. Jepang telah melakukan penelitian dan menggunakan teknologi " ujar Hermanto.

Sementara itu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian PU Moch. Amron mengatakan, dengan kekayaan sumber alam yang dimiliki Indonesia, hendaknya penelitian juga difokuskan pada penggunaan material lokal dalam pembangunan infrastruktur. Material lokal dan pengembangan spesifikasi tehnik dapat mengefisiensikan pendanaan. Material lokal seperti aspal buton telah dibuktikan penggunaannya dengan bahan dasar minyak aspal dan peningkatan permukaan jalan sebesar 25 persen.

Materi dibahas dalam worshop tersebut yakni kondisi permukaan Jalan pasca bencana; standar jembatan tahan gempa; serta kebutuhan dan pengembangan perkuatan jembatan di Indonesia. Ke depan, Badan litbang akan secara aktif melakukan penelitian, produksi, penggunaan dan evaluasi teknologi, khususnya dibidang jalan dan jembatan.
dikutip dari www.pu.go.id