Perdagangan bebas ASEAN dan China menjadi pintu awal globalisasi dan liberalisasi yang dihadapi konstruksi Indonesia, disamping tantangan lain yang tidak kalah besar yakni demokrasi dan desentralisasi, kemiskinan dan kesenjangan, serta kerusakan lingkungan dan bencana. Empat tantangan tersebut harus disikapi pemangku kepentingan dari seluruh rantai suplai sektor konstruksi, untuk menjadikan sektor konstruksi menjadi sektor yang mampu menjamin profesionalisme para pelaku, melalui proses yang efesien serta menghasilkan produk yang berkualitas, bermanfaat dan berkelanjutan.
Inisiasi dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) pada tahun 2007 telah merumuskan peta arah perjalanan transformasi konstruksi yang disebut sebagai Konstruksi Indonesia 2030. Dalam dokumen itu, konstruksi Indonesia adalah para pelaku seluruh rantai suplai konstruksi (people), kemudian proses penyelenggaraan life cycle built aset (proses) dan terakhir produk berupa bangunan, infrastruktur, aset terbangun beserta layanannya (product).
“Konstruksi Indonesia tidak semata design-bid and build, ini hanya merupakan bagian dari rantai suplai dalam mewujudkan lingkungan terbangun yang nyaman, KI juga menyangkut modal, teknologi, SDM, informasi pasar, akses pasar, sistem transaksi, penjaminan kualitas, model bisnis sehingga bagaimana proyek konstruksi di daerah Indonesia timur menarik bagi investor” kata Akhmad Suraji, pakar konstruksi dari UGM dalam Diskusi Evaluasi tentang Kebijakan Transformasi Konstruksi di Hotel Ambhara, Jakarta (22/3) yang dihadiri oleh para pakar konstruksi lainnya diantaranya Dr. Krishna S. Pribadi dari ITB, Prof. Mudrajad Kuncoro dari UGM, Prof. Wiratman, Prof. Sunyoto Usman dan Mantan Ketua LPJK Sulistijo Sidarto Muljo.
Pembuatan KI 2030, menurut mantan Ketua LPJKN Sulistijo Sudartomulyo adalah agar ada arah yang jelas pengembangan konstruksi nasional yang tidak terpengaruh adanya pergantian pemerintahan atau kabinet.
Terkait kemampuan pelaku konstruksi Indonesia saat ini, Krisna mengatakan bahwa isu penting yang dihadapi saat ini adalah tidak semua yang memiliki sertifikasi memiliki kompetensi sementara globalisasi mengharuskan memiliki daya saing. Perubahan iklim dunia dengan adanya perubahan iklim dan pemanasan global juga menjadi tantangan yang harus direspon oleh KI yang menjadi bagian penyumbang besar gas emisi.
Namun menurut Wiratman, globalisasi sektor konstruksi bukan berarti perusahaan nasional tidak memiliki kemampuan. Wiratman meminta agar aturan pemerintah memberikan kesempatan kepada perusahaan lokal menjadi mayoritas dalam proyek-proyek besar. “Pemegang bendera (mayoritas) dipegang oleh lokal yang disyaratkan bekerjasama dengan perusahaan asing yang memiliki teknologi. Menurut saya teknologi tidak lah sulit, teknologi bisa dikuasai melalui kerjasama, dengan demikian kita bisa belajar sambil mengerjakan sehingga lebih cepat belajar.” Jelasnya.
Hadirnya UU Jasa Konstruksi No 18 tahun 1999, menurut Wiratman sudah bagus karena mengatur kesetaraan antara pemberi pekerjaan dan penerima pekerjaan. Namun praktek di lapangan, penerima pekerjaan seringkali dibawah pemberi pekerjaan. “Ini tidak bagus untuk kelangsungan sektor konstruksi” tambahnya.
Sektor konstruksi merupakan pilar penting peningkatan kesejahteraan dan menjadi tumpuan peningkatan ekonomi dan pemulihan ekonomi di saat krisis. Sektor ini, menurut Mudrajat Kuncoro memberikan konstribusi sebesar 7,5-10 persen terhadap produk domestik bruto dan mampu menyerap tenaga kerja langsung hingga 4-5 persen per tahun. Terkait dengan pengembangan sektor konstruksi 2030, Mudrajat mengingatkan pentingnya aspek penataan ruang, apakah 20 tahun kedepan sektor konstruksi masih akan terpusat di Jawa dan Sumatera yang saat ini memegang peranan sebesar 81 persen. (dikutip dari www.pu.go.id)